Powered By Blogger

Jumat, 30 Desember 2011

“Meningkatkan Peran dan Fungsi Legislasi DPD-RI , Mendirikan Posko Aspirasi Dengan Layanan Website dan SMS Service Bagi Konstituen”

DPD-RI merupakan salah satu lembaga tinggi negara sesuai dengan amanah konstitusi, tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD NRI 1945, DPD-RI sebagai bagian dari MPR-RI yang merupakan lembaga tinggi negara sekaligus mempertegas kedudukan yang sama atau setara antara anggota DPD-RI dan DPR-RI. Akan tetapi pada kenyataannya kedudukan keduanya belum setara. Hal ini dapat dilihat dalam hal perancangan dan pembentukan undang-undang, DPD-RI hanya dilibatkan pada pembicaraan di tingkat I dan hanya terbatas dengan undang-undang dalam ranah kewenangan DPD-RI, padahal undang-undang secara keseluruhan akan dirasakan dan berdampak di tingkat daerah atau lokal. Pada pembicaraan tingkat II, DPD-RI tidak dilibatkan lagi, padahal pada tahap ini anggota fraksi di DPR-RI dapat saja menolak rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD-RI dan mejadi “mentah” kembali sehingga peran atau fungsi legislasi DPD-RI masih lemah dibandingkan DPR-RI.

Meningkatkan Peran dan Fungsi Legislasi DPD-RI
Hal paling utama yang akan saya perjuangkan seandainya saya anggota DPD-RI adalah meningkatkan peran DPD-RI dalam fungsi legislasi.  Dalam Pasal 20 Ayat (1) UUD NRI 1945 menyebutkan, Ayat (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal ini menandakan bahwa kewenangan dalam membentuk undang-undang atau fungsi legislasi dipegang oleh DPR-RI, sedangkan DPD-RI masih memiliki peran yang terbatas dalam fungsi legislasi. Hal yang akan saya perjuangkan adalah melibatkan DPD-RI mulai dari usulan rancangan undang-undang hingga pengesahan undang-undang, dengan cara tersebut peran dan fungsi DPD-RI juga dapat lebih dirasakan oleh masyarakat. Selain itu langkah penting yang akan saya lakukan dalam meningkatkan peran dan fungsi legislasi DPD-RI dengan cara mengajukan usul peninjauan dan gagasan amandemen ulang UUD NRI 1945 dan Undang-Undang yang mengatur kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Posko Aspirasi, Menjaring Aspirasi Konstituen Daerah
Seandainya saya Anggota DPD-RI, selain meningkatkan fungsi legislasi DPD-RI saya juga akan aktif menjaring aspirasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan konstituen, secara langsung dengan melakukan kunjungan dan dengar pendapat masyarakat ataupun pemerintah di daerah, secara tidak langsung langkah nyata yang akan saya lakukan yaitu, mendirikan posko aspirasi di daerah terpencil atau sulit dijangkau. Hal ini selain untuk mempermudah penyampaian aspirasi masyarakat di daerah juga bertujuan untuk meng-efisienkan anggaran dalam melakukan kunjungan kerja di daerah, masyarakat yang ada di daerah tidak perlu lagi ke Jakarta untuk menyampaikan aspirasinya. Posko aspirasi saya dirikan di daerah, meliputi kabupaten/kota konstituen terutama di daerah yang sulit terjangkau transportasi. Posko aspirasi ini dilengkapi dengan fasilitas layanan website aspirasi. Selain di posko aspirasi, layanan website tersebut dapat diakses kapan dan dimana saja sehingga memudahkan konstituen menyampaikan aspirasi ataupun pengaduan. Selain posko aspirasi dan layanan website. Seandainya saya Anggota DPD-RI, saya akan menyediakan layanan sms bebas pulsa bagi konstituen di daerah, layanan yang saya berikan bertujuan menjaring aspirasi dan aktif mengadakan dialog dengan konstituen. Hal ini akan lebih meyakinkan masyarakat bahwa peran DPD-RI sangatlah penting dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat daerah dan mempermudah kinerja saya Seandainya saya Anggota DPD-RI, semua layanan tersebut mengedepankan efisiensi tanpa mengurangi esensi sebagai perwakilan daerah di parlemen yang diamanatkan oleh konstitusi.

Senin, 12 Desember 2011

3 Tipe Hukum Philippe Nonet dan Philip Selznick

Dalam bukunya Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi ini, pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar untuk men-sejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan untuk kepentingan mereka yang berkuasa. Philippe Nonet dan Philip Selznick mengakhiri suatu cara berfikir tertentu yang bersifat linier dan matematis, yang dimaksud adalah meletakkan perkembangan dan pembangunan hukum secara linier yang dikemas dalam bentuk “Teori Modernisasi”. Teori tersebut berjaya pada tahun 60-an tetapi mulai surut sejak tahun 70-an. Teori modernisasi secara sederhana mengatakan, bahwa negara-negara berkembang akan mencapai suatu tingkat perkembang hukum yang dinikmati oleh negara-negara maju atau modern asal mau mengikuti jalan yang ditempuh oleh masyarakat maju tersebut. Apabila negara berkembang mampu menghilangkan hambatan-hambatan ke arah modernisasi, maka akan dijamin menjadi negara maju. Jaminan tersebut lebih banyak tidak terbukti dan mulailah teori tersebut ditinggalkan.
Maka dari itu Philippe Nonet dan Philip Selznick mengembangkan model development.  Kelebihan model development Philippe Nonet dan Philip Selznick terletak pada pemahamannya tentang betapa kompleksnya kenyataan antara hukum dan masyarakat. oleh teori modernisasi, realitas yang kompleks telah direduksi menjadi sangat sederhana, sehingga gagal lah teori tersebut membuat ramalan tentang perkembangan hukum dalam masyarakat. Philippe Nonet dan Philip Selznick menyadari kenyataan yang rumit antara hukum dan masyarakatnya. disitulah kelebihan development model mereka. hal tersebut memperkuat keyakinan kita bahwa semakin kokoh suatu teori berpijak pada pada kenyataan semakin besar pula kekuatannya. kendatipun Nonet dan Selznick mengunggulkan tipe hukum yang responsive tetapi itu tetap dipegangnya dengan reserve. keberhasilan hukum responsif akan sangat ditentukan oleh oleh tersedianya modal sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. bahkan apabila yang kita inginkan adalah stabilitas, maka kedua penulis itu lebih mengunggulkan tipe hukum yang otonom.
Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: (1) hukum sebagai pelayanan kekuasaan refresif, (hukum represif), (2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan refresi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan (3) hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar. Karakter masing-masing tipe dapat dilihat seperti tabel Tiga Tipe Hukum di bawah ini:
TIGA TIPE HUKUM

HUKUM RESPONSIF
HUKUM OTONOM
HUKUM RESPONSIF
TUJUAN HUKUM
Ketertiban
Legitimasi
Kompetensi
LEGITIMASI
Ketahanan sosial dan tujuan negara (raison d’etat)
Keadilan prosedural
Keadilan substansif
PERATURAN
Akeras dan rinci namun berlaku lemah terhadap pembuat hukum
Luas dan rinci; mengikat penguasa maupun yang dikuasai
Subordinat dari prinsif dan kebijakan
PERTIMBANGAN
Ad hoc: memudahkan mencapai tujuan dan bersifat partikular
Sangat melekat pada otoritas legal; rentan terhadap formalisme dan legalisme
Purposif (berorientasikan tujuan); perluasan kompetensif kognitif
DISKRESI
Sangat luas; oportunistik
Dibatasi oleh peraturan; delegasi yang sempit
Luas, tetapi tetap sesuai dengan tujuan
PAKSAAN
Ekstensif; dibatasi secara lemah
Dikontrol oleh batasan-batasan hukum
Pencarian positif bagi berbagai alternatif, seperti intensif, sistem kewajiban yang mampu bertahan sendiri
MORALITAS
Moralitas komunal; moralisme hukum; “moralitas pembatasan”
Moralitas kelembagaan; yakni dipenuhi dengan integritas proses hukum
Moralitas sipil; “ kerja sama”
POLITIK
Hukum subordinat terhadap politik kekuasaan
Hukum “independen” politik; pemisahan kekuasaan
Terintegrasinya aspirasi hukum dan politik; keterpaduan kekuasaan
HARAPAN AKAN KETAATAN
Tanpa syarat; ketidaktaatan per se dihukum sebagai pembangkangan
Penyimpangan peraturan yang dibenarkan, misalnya untuk menguji validitas undang-undang atau perintah
Pembangkangan dilihat dari aspek bahaya substantif; dipandang sebagai gugatan terhadap legitimasi

sumber: Philippe Nonet dan Philip Selznick Hukum Responsif " Pilihan di Masa Transisi
"

Rabu, 07 Desember 2011

Pengungsi Internal atau Internally Displaced Person’s (IDP’s)


Menurut Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi, pengungsi lintas  atas adalah seseorang yang “oleh karena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok social tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak bisa atau, karena rasa takut itu, tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut.”
Sedangkan yang dimaksud dengan yang dimaksudkan dengan pengungsi internal ialah orang-orang atau kelompok-kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dahulu biasa tinggal, terutama sebagai akibat dari, atau dalam rangka menghindarkan diri dari, dampak-dampak konflik bersenjata, situasi-situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia, bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia, dan yang tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional.”
 Istilah displaced persons (DPs) digunakan oleh perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk pertamakali pada tahun 1972 untuk menunjuk orang-orang di Sudan yang karena terjadi konflik bersenjata internal di negara itu terpaksa meninggalkan kampung halamnnya untuk pergi ke tempat-tempat yang lebih aman, tetapi masih dalam wilayah negara mereka sendiri. Istilah di atas tetap dipakai hingga tahun 1974. UNHCR mengartikan istilah DPs sebgai orang-orang yang karena konflik bersenjata internal terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat yang lebih aman tetapi masih di dalam wilayah negara mereka sendiri. Sejak tahun 1975 UNHCR dan Persrikatan bangsa-Bangsa memakai istilah displaced persons (DPs) untuk menunjuk orang-orang yang meninggalkan kampung halamnnya untuk pergi ketempat lain yang dirasakan aman sebagai akibat terjadinya konflik bersenjata di negara asalnya. Untuk Dps dalam pengertian semula (tetap masih berada dalam wilayah negara yang sama) dan untuk itu UNHCR memakai istilah Internally Displaced Persons (IDPs)
Istilah displaced persons dalam berbagai resolusi Majelis Umum PBB tahun 1975 yang memberikan hak kepada UNHCR untuk memberikan bantuan dan perlindungan kepada orang-orang terlantar (persons displaced) di luar negara asal yang tidak dimasukkan dalam pengertian pengungsi tetapi mereka ditemukan dalam “kondisi seperti pengungsi” tetapi mereka ditemukan dalam kondisi seperti pengungsi akibat kejadian-kejadian (kadang-kadang sebagai “bencana buatan manusia) yang timbul dalam negara asal mereka.
Dalam Guiding Principles on Internal Displacement. Angka 2: pengantar, memuat pengertian dari istilah Internally Displaced Persons (IDPs) sebagai berikut:
“....internally displaced persons are persons or groups of persons who have been forced or oliged to flee or to leave their homes or places of habitual recidens, in particular as a result of or in order to avoid the effects of armed conflict, situations of generalized violence, violations of human rights or natural or humanmade disasters, and who have not crossed an internationally recognized State border”.
Jadi berdasarkan pengertian di atas  yang dimaksud dengan Internally displaced persons (IDPs) adalah orang-orang atau sekelompok orang yang dipaksa atau diharuskan meninggalkan rumah atau tempat tinggal mereka terutama sebagai akibat atau disebabkan konflik bersenjata, dalam situasi terjadi pelanggaran, pelanggaran hak asasi manusia atau peristiwa alam atau karena perbuatan manusia dan tidak menyeberang perbatasan negara yang diakui secara internasional.
Berdasarkan pendapat di atas, terlihat bahwa istilah IDPs timbul karena adanya bahaya yang mengancam keselamatan penduduk. Misalnya karena adanya pertikaian bersenjata, atau karena banyaknya terjadi pelanggaran, pelanggaran hak asasi manusia atau karena terjadinya bencana alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan. Juga karena bencana buatan manusia (man-made disaster).
Dalam pada itu, perlu dikemukakan bahwa telah terjadi perkembangan dalam penggunaan kata atau istilah “persons” dalam displaced persons (DPs) dan internally displaced persons (IDPs) menjadi “people”, sehingga istilah-istilah yang kini dipakai oleh UNHCR adalah displaced peoples (DPs) dan Internally displaced people (IDP).

Hak-hak pengungsi Internal (IDP’s)
Di dalam Prinsip 22 Prinsip-Prinsip Panduan Bagi Pengungsian Internal menyatakan bahwa Para pengungsi internal, yang tinggal di dalam kamp atau pun tidak, tidak boleh didiskriminasi secara merugikan, sebagai akibat dari pengungsian mereka, dalam hal mendapatkan hak-hak berikut ini:
a)    Hak-hak atas kemerdekaan pikiran, hati nurani, agama atau kepercayaan, pendapat, dan ekspresi;
b)    Hak untuk mencari dengan bebas kesempatan kerja dan untuk berperanserta dalam kegiatan-kegiatan ekonomi;
c)    Hak untuk berserikat dengan bebas dan berperanserta, dengan posisi setara, dalam urusan-urusan komunitas;
d)    Hak untuk memilih dan untuk berperanserta dalam urusan-urusan pemerintahan dan publik, termasuk hak untuk mempunyai akses kepada sarana-sarana yang diperlukan untuk mewujudkan hak ini;dan
e)    Hak untuk berkomunikasi dalam bahasa yang mereka pahami.

Jumat, 02 Desember 2011

Tak Perlu Keliling Dunia Untuk Berbakti Kepada Negara

Terpilihnya Dr. Abraham Samad, S.H, M.H. sebagai ketua KPK terpilih pada hari ini membawa harapan baru bagi pemberantasan korupsi di negeri tercinta ini. Setelah melewati rangkaian seleksi dan terakhir fit and proper test Komisi III DPR-RI, membuka lebar mata kita pelajar Indonesia khususnya mahasiswa Universitas Hasanuddin bahwa alumni kita juga Bisa!!!. Bagaimana tidak di tengah kegilaan pelajar Indonesia menimba ilmu di Univesitas di luar sana bahkan di negeri lain dengan banyaknya beasiswa ke luar negeri, untuk merumput ke negeri lain. Doktor Ilmu Hukum ini hanya memperdalam Ilmu Hukumnya di jenjang S1 hingga S3 di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang sangat dikenal di luar sana yang tidak menjadi rahasia lagi, sebagai tempat para aktivis dan langganan demonstrasi, berhasil juga menorehkan lulusan-lulusan yang berkemampuan tinggi untuk me-manage lembaga Negara termasuk KPK yang dibentuk oleh semangat Undang-Undang KPK.
Sebut saja Jabatan Wakil Presiden yang pernah dijabat oleh Jusuf Kalla, Ketua MA yang dijabat oleh Dr. Harifin A. Tumpa, ex Jaksa Agung yang pernah dijabat oleh Baharuddin Lopa, Wakil MK yang pernah dijabat oleh Laica Marzuki, Jabatan Menhukham yang pernah dijabat beberapa lulusan kita, hingga Dubes tak pernah ketinggalan di Jabat oleh Lulusan Universitas Hasanuddin. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menonjolkan sebuah institusi Pendidikan. Akan tetapi ini menjadi ditujukan sebagai motivasi bagi para mahasiswa bahwa lulusan-lulusan kita juga punya kompetensi yang tidak kalah dari lulusan-lulusan Universitas Favorit yang sudah terkenal di luar sana bahkan lulusan luar negeri dan membuktikan bahwa “rumput kita lebih baik dari rumput tetangga”. Tanah Bugis-Makassar tak pernah berjhenti melahirkan sosok-sosok yang “Hebat” dan mampu bersaing di kancah nasional maupun Internasional. Maka dari itu tongkat estapet harus terus dilanjutkan dan di masa pendidikan kita sekarang ini sebaiknya diisi dengan hal-hal positif agar dapat melanjutkan prestasi dari alumni-alumni terbaik kita selanjutnya, bukan diisi dengan tawuran atau hal-hal yang tidak penting dan malah merusak citra kampus. seharusnya kita sebagai Mahasiswa Universitas Hasanuddin dan pelajar di Makassar pada umumnya seharusnya menanamkan dalam mindset kita semua untuk “Berpikir Lokal, Bertindak Global”, tidak bertindak lokal dan bersifat menonjolkan kehebatan daerah atau background apapun yang sering memicu pertikaian antara mahasiswa dan membuat kita saling “menghancurkan” satu sama lain. Mari bersama menjaga bendera yang telah dikibarkan oleh para alumni terbaik kita baik di Pentas Nasional maupun di Kancah Internasional bukan malah menurunkannya.

Tak Perlu Keliling Dunia Untuk Berbakti Kepada Negara

Terpilihnya Dr. Abraham Samad, S.H, M.H. sebagai ketua KPK terpilih pada hari ini membawa harapan baru bagi pemberantasan korupsi di negeri tercinta ini. Setelah melewati rangkaian seleksi dan terakhir fit and proper test Komisi III DPR-RI, membuka lebar mata kita pelajar Indonesia khususnya mahasiswa Universitas Hasanuddin bahwa alumni kita juga Bisa!!!. Bagaimana tidak di tengah kegilaan pelajar Indonesia menimba ilmu di Univesitas di luar sana bahkan di negeri lain dengan banyaknya beasiswa ke luar negeri, untuk merumput ke negeri lain. Doktor Ilmu Hukum ini hanya memperdalam Ilmu Hukumnya di jenjang S1 hingga S3 di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang sangat dikenal di luar sana yang tidak menjadi rahasia lagi, sebagai tempat para aktivis dan langganan demonstrasi, berhasil juga menorehkan lulusan-lulusan yang berkemampuan tinggi untuk me-manage lembaga Negara termasuk KPK yang dibentuk oleh semangat Undang-Undang KPK.
Sebut saja Jabatan Wakil Presiden yang pernah dijabat oleh Jusuf Kalla, Ketua MA yang dijabat oleh Dr. Harifin A. Tumpa, ex Jaksa Agung yang pernah dijabat oleh Baharuddin Lopa, Wakil MK yang pernah dijabat oleh Laica Marzuki, Jabatan Menhukham yang pernah dijabat beberapa lulusan kita, hingga Dubes tak pernah ketinggalan di Jabat oleh Lulusan Universitas Hasanuddin. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menonjolkan sebuah institusi Pendidikan. Akan tetapi ini lebih ditujukan sebagai motivasi bagi para mahasiswa bahwa lulusan-lulusan kita juga punya kompetensi yang tidak kalah dari lulusan-lulusan universitas favorit yang sudah terkenal di luar sana bahkan lulusan luar negeri dan membuktikan bahwa “rumput kita lebih baik dari rumput tetangga”. Tanah Bugis-Makassar tak pernah berhenti melahirkan sosok-sosok yang “Hebat” dan mampu bersaing di kancah nasional maupun Internasional. Maka dari itu tongkat estapet harus terus dilanjutkan dan di masa pendidikan kita sekarang ini sebaiknya diisi dengan hal-hal positif agar dapat melanjutkan prestasi dari alumni-alumni terbaik kita selanjutnya, bukan diisi dengan tawuran atau hal-hal yang tidak penting dan malah merusak citra kampus. seharusnya kita sebagai Mahasiswa Universitas Hasanuddin dan pelajar di Makassar pada umumnya seharusnya menanamkan dalam mindset kita semua untuk “Berpikir Lokal, Bertindak Global”, tidak bertindak local dan bersifat menonjolkan kehebatan daerah atau background apapun yang sering memicu pertikaian antara mahasiswa dan membuat kita saling “menghancurkan” satu sama lain. Mari bersama menjaga bendera yang telah dikibarkan oleh para alumni terbaik kita baik di Pentas Nasional maupun di Kancah Internasional bukan malah menurunkannya.

Minggu, 27 November 2011

Batik Indonesia dalam China Asean Free Trade Area (CAFTA).


Latar Belakang

       Indonesia adalah Negara yang dikenal dengan keanekaragaman budaya dan seninya, Banyaknya pulau di Indonesia yang masing-masing memiliki kekayaan hasil karya seni. Salah satu bentuk kekayaan sekaligus menjadi ciri khas Negara ini adalah batik. Istilah batik berasal dari amba (Jawa) yang artinya menulis dan nitik. Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan corak menggunakan canting atau cap dan pencelupan kain, dengan menggunakan perintang warna corak bernama malam (lilin) yang diaplikasikan di atas kain.[1] Secara historis batik berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yaitu zaman kerajaan Majapahit yang ditulis dan dilukis di atas daun lontar. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang kaya mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri.[2] Pada tanggal 2 oktober 2009, Unesco menetapkan bahwa Batik Indonesia sebagai Maha karya warisan budaya asli Indonesia[3] sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).
       Batik yang telah di sahkan sebagai Maha karya Bangsa Indonesia sejak akhir tahun 2009 itu mempengaruhi produksi batik Indonesia makin meningkat. Selama tujuh tahun terakhir industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan produk penyumbang devisa dari sektor manufaktur.[4] Namun, pada tahun 2007, banyak faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi produksi batik di Indonesia, mulai dari kenaikan Bahan Bakar Minyak, Pelambatan perekonomian global, dan lain-lain yang penyebabkan pertumbuhan industri tekstil menurun hingga 3,4%.[5] Selain itu, import ilegal juga sangat berpengaruh pada pertumbuhan industri tekstil. Menurut data departemen perindustrian, penurunan penjualan mencapai 42,9% terhadap kinerja 2006, yakni dari 456.000 ton menjadi 270.000 ton pada tahun 2007.[6]
       Impor ilegal yang terjadi pada tahun 2006 sampai tahun 2009, sekarang telah menjadi legal sejak diberlakukannya China Asean Free Trade Area (CAFTA) pada 1 Januari 2010. Perubahan tata ekonomi global ditandai oleh terjalinnya kerjasama global, regional dan bilateral. Dalam tingkat regional, Negara-negara Asia Tenggara menyatukan visi pembangunan ekonomi ke dalam organisasi Asean Free Trade Area (AFTA). Sementara CAFTA merupakan contoh terkini yang merupakan lembaga organisasi perdagangan bebas pada tingkat Global.[7] CAFTA bukanlah hal yang perlu di proteksi oleh bangsa Indonesia, melainkan mencari solusi yang tepat agar masalah yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia dalam produksi tekstil dapat memberikan motivasi bagi masyarakat agar produk lokal tetap menjadi kekayaan kita yang harus tetap dijaga dan dilestarikan.
       CAFTA yang diberlakukan sejak 2010 ini, memberi dampak yang sangat signifikan bagi para pengrajin batik yang ada di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan produksi tekstil China yang membuat suatu karya dengan memadukan motif batik Indonesia dengan nuansa oriental membuat batik terlihat lebih menarik.[8] Selain itu, masyarakat merupakan objek yang secara langsung merasakan efek dari CAFTA karena produk dari Negara peserta CAFTA lebih murah dengan kualitas yang cukup dapat diandalkan.[9] Sebagaimana yang kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya lebih memilih barang murah dengan kualitas tinggi.
       Efek CAFTA yang sangat signifikan ini yang membuat penulis untuk memikirkan sebuah gagasan sebagai solusi untuk mengatasi dampak berlakunya pasar bebas di Indonesia yaitu, melalui pendaftaran  Sehingga, dengan adanya solusi ini dapat membantu Indonesia untuk dapat bersaing dengan produk-produk impor dan mempertahankan ciri khasnya sebagai Negara yang memiliki Maha karya yaitu Batik.

Kondisi Kekinian
      
Saat ini masih banyak motif batik yang belum Hak  Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai karya cipta seni. Motif batik-batik tersebut merupakan warisan dari leluhur yang tidak diketahui siapa penciptanya. Banyak ancaman terhadap produksi batik di Indonesia saat ini, karena selain peluang bagi Negara lain untuk mengklaim motif batik daerah di nusantara sebagai miliknya. Faktor penyebabnya yaitu belum di daftarkannya motif batik tesebut atas karya cipta seni milik bangsa Indonesia. Batik produksi Indonesia juga terancam punah dengan berlakunya perjanjian CAFTA. Khususnya negara China yang juga memproduksi dan menjual batik dengan motif yang hampir sama dengan motif batik Indonesia, dengan harga yang lebih murah, sehingga masyarakat Indonesia cenderung memilih batik China daripada batik dalam negeri.
       Hingga saat ini sedikitnya ada 350 motif batik Yogyakarta yang telah memperoleh hak paten dari Kementrian Hukum dan HAM. Selebihnya motif batik Yogyakarta belum memperoleh hak paten secara resmi. Padahal motif batik di Yogyakarta mencapai 500 motif lebih.[10] Kurang lebih seribu motif Batik di Museum Batik, Jalan dr. Soetomo, Yogyakarta, belum dipatenkan. Batik-batik yang tersimpan ada yang umurnya ratusan tahun. Paling kuno buatan 1700 hingga paling muda tahun 1950. "Biaya paten mahal, sampai puluhan juta." kata Prayoga, kurator di museum itu, kemarin. Banyak motif Batik yang tidak diketahui siapa penciptanya. Identifikasi mudah dilakukan. Informasi tentang asal Traditional Batik bisa dilihat dari corak dan warna. Usianya bisa diamati dari umur kainnya. "Banyak yang tertulis NN (no name)," ungkap Prayoga.[11]


Solusi yang Pernah Ada

       Sebelum diberlakukannya Perjanjian CAFTA adapun yang menjadi program pemerintah dalam rangka mempertahankan budaya bangsa yaitu dengan membuat sebuah desa batik. Salah satu contoh desa batik yaitu, Desa Batik Patihan, Kecamatan Tulangan, Sidoarjo, Tumbuhnya Desa Batik Patihan, Kecamatan Tulangan, Sidoarjo ini sebagai desa batik baru, merupakan upaya dari Paina Hartono. Di desa yang letaknya 36 km di selatan Surabaya itu, memang hanya ada satu perajin batik, yakni Paina Hartono. Tetapi, sejak tahun 1998 ia telah mengajak hampir seluruh ibu rumah tangga dan remaja bekerja sebagai pembatik. Memang sebenarnya di Desa Kenongo yang terletak di sebelah Desa Patihan, juga sudah ada sebuah industri batik, tetapi industri itu tidak banyak menampung tenaga kerja. Justru dengan kehadiran Paina Hartono semakin banyak warga desa yang mengenal dan mau bekerja di batik. Saat ini jumlah pembatik di Desa Patihan dan Desa Kenongo sebanyak 700 orang.[12] Selain itu terdapat pula desa batik di kabupaten sragen, dan nama desa batik tersebut adalah desa batik kliwonan. Desa batik ini ada dalam rangka melesatarikan karya atau budaya bangsa Indonesia yang dikenal dengan Negara penghasil dan pencipta batik. Namun setelah di berlakukannya Perjanjian CAFTA pada awal tahun 2010, produksi batik di Indonesia makin menurun. Maka solusi dari hal tersebut yaitu perlu diadakannya sebuah peningkatan terhadap desa batik, baik dari sisi kualitas, maupun dari segi pemasarannya. Selain itu perlu peran serta pemerintah sangat dibutuhkan melalui kebijakan pemerintah yang didalamnya terdapat aturan mengenai kewajiban pemerintah dalam memberikan subsidi pada setiap pengrajin batik, agar biaya produksi batik dapat ditekan sehingga harga penjualan pun dapat terjangkau oleh masyarakat.

Pendaftaran dan Perlindungan Karya Cipta Seni Batik

       Pendaftaran dan Perlindungan Karya Cipta Seni Batik sebagai salah satu jenis HKI dapat dilakukan Oleh daerah, Perusahan Penghasil Batik, maupun Usaha Kecil dan Menengah. Pendaftaran Karya Cipta Seni Batik oleh daerah dapat didasarkan dengan Indikasi Geografis, yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam, faktor manusia, atau faktor kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.[13] Berdasarkan pengertian indikasi geografis yang merupakan bagian dari(Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tersebut, maka penulis berinisiatif mengajukan rekomendasi pada pemerintah agar motif batik yang ada di seluruh nusantara sesuai ciri khas motif setiap daerah dapat di berikan Hak Atas Keakayaan Intelektual berdasarkan indikasi geografisnya. Biaya pendaftaran HKI ini diharapkan ditanggung pemerintah sebagai upaya melindungi dan melestarikan sehingga batik yang ada di nusantara mendapat kepastian sebagai milik bangsa ini. Sehingga jika ada pihak yang melakukan pengklaiman atas motif batik Indonesia, dapat dituntut maupun dikenakan royalti karena telah menggunakan motif yang telah menjadi milik Indonesia, Hal ini disebabkan karena motif tersebut telah sah menjadi milik daerah tersebut sesuai dengan HKI berdasarkan indikasi geografis.
Selain pendaftaran dan Perlindungan Karya Cipta Seni Batik oleh daerah, pendaftaran dan perlindungan Karya Cipta Seni Batik pun dapat dilakukan oleh Perusahaan Penghasil Batik yang tergolong besar maupun Usaha Kecil dan Usaha Menengah (selanjutnya disebut UKM)[14]. Adapun pentingnya dari pendaftaran HKI atas Karya Cipta Seni Batik yaitu mencegah terjadinya peniruan dan penjiplakan terhadap karya cipta batik yang telah didaftar. Perusahaan yang mendaftarkan motif batik yang diproduksinya kebanyakan hanya perusahaan besar contohnya PT Batik Keris dan PT Batik Danar Hadi sedangkan pengusaha batik yang tergolong menengah kebawah masih jarang yang mendaftrakan motif karya seni batiknya. Salah satu faktor penyebabnya adalah biaya pendaftaran yang mahal. [15] Maka dari itu peran pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan subsidi kepada Usaha Kecil usaha Menegah untuk melakukan pendaftaran karya cipta seni batik produksinya.

Pengembangan Desa Batik
       Program pemerintah Desa Batik telah ada sebelumnya namun butuh pengembangan dalam rangka menghadapi pasar bebas 2010. Pengembangan tersebut harus didukung oleh semua pihak mulai dari pemerintah, pengusaha, pekerja/ pengrajin batik dan konsumen/ masyarakat. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengembangan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di desa batik yang berfungsi untuk menampung ide-ide, mengkomunikasikan wacana yang berkembang terhadap bisnis lokal untuk diwujudkan menjadi sebuah model bisnis yang tepat guna dan diterima pasar untuk menjalankan implementasi bisnis yang sudah memiliki kemampuan perencanaan yang matang, peran pendampingan juga menentukan sejauh mana keberhasilan eksistensi UMKM.[16] UMKM diharapkan bisa menjadi mesin akselerator dalam pengembangan desa batik ini yang bersifat keluar dengan tugas utamanya adalah perluasan pemasaran batik secara  lokal dan regional.
       Pengembangan Desa Batik membutuhkan sarana dan prasarana yang baik, oleh karena itu fasilitas peralatan dan perlengkapan pembatikan perlu di lengkapi terlebih dahulu. Upaya-upaya strategis yang perlu dilakukan yaitu, pemberian pelatihan pengembangan keterampilan membatik kepada masyarakat khususnya pengrajin batik dalam meningkatkan keterampilan sumber daya manusia, melakukan pemasaran secara optimal yang dilakukan oleh pemerintah melalui pengusaha.  Pengenalan dan promosi akan keberadaan desa batik sebagai proyek percontohan bagi pengembangan usaha batik di Indonesia.



[1] Aep S Hamidin, 2010, Batik Warisan Budaya Indonesia, Yogyakarta: Narasi, hal. 7
[2] Sejarah Bati Indonesia, http://www.batikmarkets.com , diakses pada tanggal 19 februari 2010, pukul 10.20 WITA.
[3] Ibid, hal. 9
[4] Produksi Tekstil Nasional VS Impor Batik Ilegal, http://www.fileinvestasi.com/pasar-modal.html, diakses pada 15 februari 2010 pukul 20.41 WITA.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] CAFTA dan solusi Kontruktif , http://www.tribun-timur.com, diakses pada 15 februari 2010, pukul 21.56 WITA.
[9] Op.cit.
[10] http://www.republika.co.id, diakses tanggal 26 ebruari 2010. Pada Pukul 22.45 WITA.
[11] http://domba-bunting.blogspot.com, Seribu batik Indonesia Tanpa nama, diakses tanggal 26 Februari 2010. pukul 23.28 WITA.
[12] http://batikpesisiran.blogspot.com, Desa-desa Batik di Jawa Timur, diakses tanggal 23 Februari 2010,  pukul 12.41 WITA.
[13] Adrian sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta: Sinar Grafika. , hal. 151
[14] Berdasarkan Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah , Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Sedangkan Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
[15] Afrillyanna Purba, Gazalba Saleh, Andriana Krisnawati, 2005, Trips-WTO & Hukum HKI Indonesia (Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia), Jakarta: PT RINEKA CIPTA., hal. 65-67
[16] http://www.sumintar.com/umkm-center-sebagai-inkubator-bisnis.html, UMKM Center Sebagai Indokator Bisnis, diakses tanggal 28 Februari  2010,  pukul  22.15 WITA