Mahkamah Agung
merupakan lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman dan sebagai puncak
peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor
5 Tahun 2004 dan sebagaimana diubah terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009
Tentang Mahkamah Agung. Secara yuridis Mahkamah Agung memiliki beberapa
kewenangan di bidang yudisial dan non yudisial. Kewenangan Mahkamah Agung
dibidang yudisial antara lain sebagai berikut :
a. Memeriksa
dan memutus permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili dan
permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
b. Menguji
peraturan perundang undangan dibawah undang undang terhadap undang undang sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung jo Pasal 31 A Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
c. Memberikan
pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan Grasi dan rehabilitasi sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Dalam proses
peradilan pidana terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui bagi para pencari
keadilan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di pengadilan
hingga tahap penjatuhan putusan pemidanaan bahkan upaya hukum jika dipergunakan
oleh para pihak yang tentu saja
memerlukan waktu, tenaga, maupun biaya yang tidak sedikit bagi para pencari
keadilan Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan asas peradilan yang
disebutkan dalam dalam Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 2 ayat (4) menyebutkan: peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Asas ini menghendaki peradilan yang sederhana atau
tidak terlalu formal legalistik, proses yang berbelit-belit dan berkepanjangan
dan lebih mengutamakan keadilan dari pada kepastian hukum. Waktu yang
dibutuhkan dalam proses yang sederhana adalah cepat dan biaya yang dibutuhkan
dalam proses menjadi terjangkau oleh siapapun termasuk masyarakat tidak mampu.
Asas ini masih menjadi keniscayaan dan masih dialam das sollen, karena dalam kenyataannya (das sein) semua proses peradilan terutama peradilan pidana,
prosesnya melalui beberapa institusi termasuk kompetensi absolutnya.
Salah satu
masalah penting yang dapat menyebabkan peradilan kurang dapat berjalan dengan
cepat dan sederhana adalah adanya penumpukan perkara di peradilan dikarenakan
banyaknya perkara yang masuk melalui proses formal legalistik dan tidak
didukung dengan produktivitas para penegak hukum dalam menyelesaikan setiap
kasus misalnya di Mahkamah Agung yang merupakan tingkat pengadilan tertinggi
sekaligus pengadilan tingkat terakhir bagi pencari keadilan yang melakukan
upaya hukum sampai ke Mahkamah Agung. Banyaknya perkara yang masuk ke Mahkamah Agung
dengan penyelesaian perkara kasasi sebanyak 8.500 setiap tahun sedangkan
penerimaan perkara dalam jumlah yang hampir sama atau lebih besar, dapat
diperkirakan bahwa penumpukan perkara di Mahkamah Agung RI tidak akan dapat
diselesaikan.
Pada Tahun 2010,
Mahkamah Agung dibebani 13.480 perkara baru. Jumlah perkara pada 2010 tersebut
belum termasuk perkara pada 2009 yang belum terselesaikan yang jumlahnya
sekitar 8.000-an. Dengan beban tersebut, Mahkamah Agung mampu menyelesaikan
13.891 perkara. Sementara itu, pada 2011 terhitung sampai Agustus, Mahkamah Agung
sudah menyelesaikan 9.453 perkara. Adapun
perkara yang masuk pada 2011 tercatat 8.925 perkara,ditambah perkara pada 2010
yang belum terselesaikan yang jumlahnya mencapai sekitar 8.000-an. Dari data
yang diperoleh, beban kerja per hakim agung juga tinggi. Bahkan,pada 2011, ada
hakim yang beban perkaranya mencapai ribuan. Misalnya hakim agung yang juga
Ketua Muda Pidana Umum Artidjo Alkostar. Dia menerima beban perkara mencapai
1.259 pada 2011.[1]
Pada dasarnya
penumpukan tersebut disebabkan karena semua jenis perkara baik Pidana, Perdata
maupun Tata Usaha Negara dapat diajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Hal ini
menimbulkan kritikan-kritikan terhadap kinerja badan peradilan diseluruh
Indonesia terutama pada perkara pidana. Proses penyelesaian perkara melalui
pengadilan dianggap sangat lambat, membuang waktu, mahal serta berbelit-belit.
Semakin lama para pencari keadilan semakin tidak percaya dan kurang simpatik
terhadap kinerja dan proses penegakan hukum di Indonesia.
Hal ini
tentunya bertentangan dengan tujuan seperti yang telah ditentukan dalam Undang
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat (4)
menyebutkan: peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi sebagai penyelesaiannya yang lebih
mendasar dan adanya ide pemikiran kembali sehingga asas peradilan sederhana,
cepat, dan biaya ringan dapat benar-benar direalisasikan dan dirasakan para
pencari keadilan terutama kalangan tidak mampu.
Salah satu cara
mengefektifkan berlakunya asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan
dalam peradilan pidana yaitu dengan memberlakukan konsep Restorative Justice baik pada pengadilan tingkat pertama maupun
pengadilan tingkat terakhir seperti Mahkamah AGung Republik Indonesia . Restorative
Justice concept atau Konsep Keadilan Restoratif merupakan sebuah konsep
keadilan bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan
masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran
dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat
(Pavlich,2002: 1). Wright.M (1992:525) menjelaskan bahwa konsep Restorative Justice (Keadilan
Restoratif) pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan
pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau
hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan
dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan
bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan. Indonesia telah memberlakukan
konsep keadilan restoratif dalam proses peradilan anak. Hal tersebut lebih
menjamin terpenuhinya rasa keadilan antara korban dan pelaku.
Pada proses
peradilan atau tindak pidana biasa, korban sangat sedikit merasakan keadilan
hal ini dikarenakan Jaksa Penuntut Umum sebagai wakil dari Negara lebih
menekankan pada keadilan retributive dimana lebih menekankan keadilan pada
pembalasan dengan tuntutan pemidanaan dan keadilan restitutive yang lebih
menkankan keadilan pada pemberian ganti rugi yang hanya memberikan wewenang
kepada Negara yang didelegasikan kepada aparat penegak huku seperti Polisi<
Jaksa, dan Hakim sedangkan keadilan terhadap pihak korban sangat minim dirasakan,
sedangkan jika konsep keadilan restoratif diberlakukan baik pada peradilan anak
maupun pada peradilan pidana yang dilakukan oleh orang dewasa keadilan bagi
pelaku dan korban dapat terpenuhi dengan itikad baik atau kesepakatan bersama
antara pihak pelaku maupun korban
Hal ini mendorong
penyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih
informal dan personal, dari pada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang
formal (kaku) dan impersonal. Mengenai momentum, yaitu sebelum dan sesudah
proses peradilan berjalan. Sebelum proses peradilan, dimaksudkan ketika
”perkara” tersebut masih ditangan kepolisian atau kejaksaan. Baik atas
inisiatif kepolisian, kejaksaan, seseorang atau kelompok masyarakat, dilakukan
upaya menyelesaikan perbuatan pidana tersebut, dengan cara-cara atau prinsip
Pendekatan Restorative Justice
(Keadilan Restoratif). Hal serupa pada saat perkara dilimpahkan ke
Pengadilan. Misalnya, hakim dapat menganjurkan penyelesaian menurut cara-cara
dan prinsip Restorative Justice. Bahkan ada kemungkinan ditengah proses
peradilan dapat ditempuh cara-cara penyelesaian menurut prinsip Restorative
Justice. Apabila dilihat dari posisi terdakwa. Hal ini sangat mendukung
terlaksananya asa peradilan sederhana, cepat, dan biaya murah. Sehingga ketika
terjadi kesepakatan antara pihak pelaku dan korban maka proses peradilan dapat
dihentikan pada tingkat tempat terjadinya kesepakatan antara pelaku dan korban,
baik sebelum proses peradilan maupun di tengah proses peradilan tanpa menunggu
putusan pengadilan. Dengan diberlakukannya konsep keadilan restorative baik di
pengadilan tingkat pertama hingga pengadilan tingkat akhir seperti Mahkamah
Agung maka dapat mengurangi tumpukan perkara dan beban para hakim agung di
Mahkamah Agung RI khususnya perkara-perkara kasasi yang di upayakan hingga ke
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar