Powered By Blogger

Minggu, 27 November 2011

Batik Indonesia dalam China Asean Free Trade Area (CAFTA).


Latar Belakang

       Indonesia adalah Negara yang dikenal dengan keanekaragaman budaya dan seninya, Banyaknya pulau di Indonesia yang masing-masing memiliki kekayaan hasil karya seni. Salah satu bentuk kekayaan sekaligus menjadi ciri khas Negara ini adalah batik. Istilah batik berasal dari amba (Jawa) yang artinya menulis dan nitik. Kata batik sendiri merujuk pada teknik pembuatan corak menggunakan canting atau cap dan pencelupan kain, dengan menggunakan perintang warna corak bernama malam (lilin) yang diaplikasikan di atas kain.[1] Secara historis batik berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yaitu zaman kerajaan Majapahit yang ditulis dan dilukis di atas daun lontar. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang kaya mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri.[2] Pada tanggal 2 oktober 2009, Unesco menetapkan bahwa Batik Indonesia sebagai Maha karya warisan budaya asli Indonesia[3] sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).
       Batik yang telah di sahkan sebagai Maha karya Bangsa Indonesia sejak akhir tahun 2009 itu mempengaruhi produksi batik Indonesia makin meningkat. Selama tujuh tahun terakhir industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan produk penyumbang devisa dari sektor manufaktur.[4] Namun, pada tahun 2007, banyak faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi produksi batik di Indonesia, mulai dari kenaikan Bahan Bakar Minyak, Pelambatan perekonomian global, dan lain-lain yang penyebabkan pertumbuhan industri tekstil menurun hingga 3,4%.[5] Selain itu, import ilegal juga sangat berpengaruh pada pertumbuhan industri tekstil. Menurut data departemen perindustrian, penurunan penjualan mencapai 42,9% terhadap kinerja 2006, yakni dari 456.000 ton menjadi 270.000 ton pada tahun 2007.[6]
       Impor ilegal yang terjadi pada tahun 2006 sampai tahun 2009, sekarang telah menjadi legal sejak diberlakukannya China Asean Free Trade Area (CAFTA) pada 1 Januari 2010. Perubahan tata ekonomi global ditandai oleh terjalinnya kerjasama global, regional dan bilateral. Dalam tingkat regional, Negara-negara Asia Tenggara menyatukan visi pembangunan ekonomi ke dalam organisasi Asean Free Trade Area (AFTA). Sementara CAFTA merupakan contoh terkini yang merupakan lembaga organisasi perdagangan bebas pada tingkat Global.[7] CAFTA bukanlah hal yang perlu di proteksi oleh bangsa Indonesia, melainkan mencari solusi yang tepat agar masalah yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia dalam produksi tekstil dapat memberikan motivasi bagi masyarakat agar produk lokal tetap menjadi kekayaan kita yang harus tetap dijaga dan dilestarikan.
       CAFTA yang diberlakukan sejak 2010 ini, memberi dampak yang sangat signifikan bagi para pengrajin batik yang ada di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan produksi tekstil China yang membuat suatu karya dengan memadukan motif batik Indonesia dengan nuansa oriental membuat batik terlihat lebih menarik.[8] Selain itu, masyarakat merupakan objek yang secara langsung merasakan efek dari CAFTA karena produk dari Negara peserta CAFTA lebih murah dengan kualitas yang cukup dapat diandalkan.[9] Sebagaimana yang kita ketahui bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya lebih memilih barang murah dengan kualitas tinggi.
       Efek CAFTA yang sangat signifikan ini yang membuat penulis untuk memikirkan sebuah gagasan sebagai solusi untuk mengatasi dampak berlakunya pasar bebas di Indonesia yaitu, melalui pendaftaran  Sehingga, dengan adanya solusi ini dapat membantu Indonesia untuk dapat bersaing dengan produk-produk impor dan mempertahankan ciri khasnya sebagai Negara yang memiliki Maha karya yaitu Batik.

Kondisi Kekinian
      
Saat ini masih banyak motif batik yang belum Hak  Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai karya cipta seni. Motif batik-batik tersebut merupakan warisan dari leluhur yang tidak diketahui siapa penciptanya. Banyak ancaman terhadap produksi batik di Indonesia saat ini, karena selain peluang bagi Negara lain untuk mengklaim motif batik daerah di nusantara sebagai miliknya. Faktor penyebabnya yaitu belum di daftarkannya motif batik tesebut atas karya cipta seni milik bangsa Indonesia. Batik produksi Indonesia juga terancam punah dengan berlakunya perjanjian CAFTA. Khususnya negara China yang juga memproduksi dan menjual batik dengan motif yang hampir sama dengan motif batik Indonesia, dengan harga yang lebih murah, sehingga masyarakat Indonesia cenderung memilih batik China daripada batik dalam negeri.
       Hingga saat ini sedikitnya ada 350 motif batik Yogyakarta yang telah memperoleh hak paten dari Kementrian Hukum dan HAM. Selebihnya motif batik Yogyakarta belum memperoleh hak paten secara resmi. Padahal motif batik di Yogyakarta mencapai 500 motif lebih.[10] Kurang lebih seribu motif Batik di Museum Batik, Jalan dr. Soetomo, Yogyakarta, belum dipatenkan. Batik-batik yang tersimpan ada yang umurnya ratusan tahun. Paling kuno buatan 1700 hingga paling muda tahun 1950. "Biaya paten mahal, sampai puluhan juta." kata Prayoga, kurator di museum itu, kemarin. Banyak motif Batik yang tidak diketahui siapa penciptanya. Identifikasi mudah dilakukan. Informasi tentang asal Traditional Batik bisa dilihat dari corak dan warna. Usianya bisa diamati dari umur kainnya. "Banyak yang tertulis NN (no name)," ungkap Prayoga.[11]


Solusi yang Pernah Ada

       Sebelum diberlakukannya Perjanjian CAFTA adapun yang menjadi program pemerintah dalam rangka mempertahankan budaya bangsa yaitu dengan membuat sebuah desa batik. Salah satu contoh desa batik yaitu, Desa Batik Patihan, Kecamatan Tulangan, Sidoarjo, Tumbuhnya Desa Batik Patihan, Kecamatan Tulangan, Sidoarjo ini sebagai desa batik baru, merupakan upaya dari Paina Hartono. Di desa yang letaknya 36 km di selatan Surabaya itu, memang hanya ada satu perajin batik, yakni Paina Hartono. Tetapi, sejak tahun 1998 ia telah mengajak hampir seluruh ibu rumah tangga dan remaja bekerja sebagai pembatik. Memang sebenarnya di Desa Kenongo yang terletak di sebelah Desa Patihan, juga sudah ada sebuah industri batik, tetapi industri itu tidak banyak menampung tenaga kerja. Justru dengan kehadiran Paina Hartono semakin banyak warga desa yang mengenal dan mau bekerja di batik. Saat ini jumlah pembatik di Desa Patihan dan Desa Kenongo sebanyak 700 orang.[12] Selain itu terdapat pula desa batik di kabupaten sragen, dan nama desa batik tersebut adalah desa batik kliwonan. Desa batik ini ada dalam rangka melesatarikan karya atau budaya bangsa Indonesia yang dikenal dengan Negara penghasil dan pencipta batik. Namun setelah di berlakukannya Perjanjian CAFTA pada awal tahun 2010, produksi batik di Indonesia makin menurun. Maka solusi dari hal tersebut yaitu perlu diadakannya sebuah peningkatan terhadap desa batik, baik dari sisi kualitas, maupun dari segi pemasarannya. Selain itu perlu peran serta pemerintah sangat dibutuhkan melalui kebijakan pemerintah yang didalamnya terdapat aturan mengenai kewajiban pemerintah dalam memberikan subsidi pada setiap pengrajin batik, agar biaya produksi batik dapat ditekan sehingga harga penjualan pun dapat terjangkau oleh masyarakat.

Pendaftaran dan Perlindungan Karya Cipta Seni Batik

       Pendaftaran dan Perlindungan Karya Cipta Seni Batik sebagai salah satu jenis HKI dapat dilakukan Oleh daerah, Perusahan Penghasil Batik, maupun Usaha Kecil dan Menengah. Pendaftaran Karya Cipta Seni Batik oleh daerah dapat didasarkan dengan Indikasi Geografis, yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam, faktor manusia, atau faktor kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.[13] Berdasarkan pengertian indikasi geografis yang merupakan bagian dari(Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tersebut, maka penulis berinisiatif mengajukan rekomendasi pada pemerintah agar motif batik yang ada di seluruh nusantara sesuai ciri khas motif setiap daerah dapat di berikan Hak Atas Keakayaan Intelektual berdasarkan indikasi geografisnya. Biaya pendaftaran HKI ini diharapkan ditanggung pemerintah sebagai upaya melindungi dan melestarikan sehingga batik yang ada di nusantara mendapat kepastian sebagai milik bangsa ini. Sehingga jika ada pihak yang melakukan pengklaiman atas motif batik Indonesia, dapat dituntut maupun dikenakan royalti karena telah menggunakan motif yang telah menjadi milik Indonesia, Hal ini disebabkan karena motif tersebut telah sah menjadi milik daerah tersebut sesuai dengan HKI berdasarkan indikasi geografis.
Selain pendaftaran dan Perlindungan Karya Cipta Seni Batik oleh daerah, pendaftaran dan perlindungan Karya Cipta Seni Batik pun dapat dilakukan oleh Perusahaan Penghasil Batik yang tergolong besar maupun Usaha Kecil dan Usaha Menengah (selanjutnya disebut UKM)[14]. Adapun pentingnya dari pendaftaran HKI atas Karya Cipta Seni Batik yaitu mencegah terjadinya peniruan dan penjiplakan terhadap karya cipta batik yang telah didaftar. Perusahaan yang mendaftarkan motif batik yang diproduksinya kebanyakan hanya perusahaan besar contohnya PT Batik Keris dan PT Batik Danar Hadi sedangkan pengusaha batik yang tergolong menengah kebawah masih jarang yang mendaftrakan motif karya seni batiknya. Salah satu faktor penyebabnya adalah biaya pendaftaran yang mahal. [15] Maka dari itu peran pemerintah sangat diperlukan untuk memberikan subsidi kepada Usaha Kecil usaha Menegah untuk melakukan pendaftaran karya cipta seni batik produksinya.

Pengembangan Desa Batik
       Program pemerintah Desa Batik telah ada sebelumnya namun butuh pengembangan dalam rangka menghadapi pasar bebas 2010. Pengembangan tersebut harus didukung oleh semua pihak mulai dari pemerintah, pengusaha, pekerja/ pengrajin batik dan konsumen/ masyarakat. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengembangan UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di desa batik yang berfungsi untuk menampung ide-ide, mengkomunikasikan wacana yang berkembang terhadap bisnis lokal untuk diwujudkan menjadi sebuah model bisnis yang tepat guna dan diterima pasar untuk menjalankan implementasi bisnis yang sudah memiliki kemampuan perencanaan yang matang, peran pendampingan juga menentukan sejauh mana keberhasilan eksistensi UMKM.[16] UMKM diharapkan bisa menjadi mesin akselerator dalam pengembangan desa batik ini yang bersifat keluar dengan tugas utamanya adalah perluasan pemasaran batik secara  lokal dan regional.
       Pengembangan Desa Batik membutuhkan sarana dan prasarana yang baik, oleh karena itu fasilitas peralatan dan perlengkapan pembatikan perlu di lengkapi terlebih dahulu. Upaya-upaya strategis yang perlu dilakukan yaitu, pemberian pelatihan pengembangan keterampilan membatik kepada masyarakat khususnya pengrajin batik dalam meningkatkan keterampilan sumber daya manusia, melakukan pemasaran secara optimal yang dilakukan oleh pemerintah melalui pengusaha.  Pengenalan dan promosi akan keberadaan desa batik sebagai proyek percontohan bagi pengembangan usaha batik di Indonesia.



[1] Aep S Hamidin, 2010, Batik Warisan Budaya Indonesia, Yogyakarta: Narasi, hal. 7
[2] Sejarah Bati Indonesia, http://www.batikmarkets.com , diakses pada tanggal 19 februari 2010, pukul 10.20 WITA.
[3] Ibid, hal. 9
[4] Produksi Tekstil Nasional VS Impor Batik Ilegal, http://www.fileinvestasi.com/pasar-modal.html, diakses pada 15 februari 2010 pukul 20.41 WITA.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] CAFTA dan solusi Kontruktif , http://www.tribun-timur.com, diakses pada 15 februari 2010, pukul 21.56 WITA.
[9] Op.cit.
[10] http://www.republika.co.id, diakses tanggal 26 ebruari 2010. Pada Pukul 22.45 WITA.
[11] http://domba-bunting.blogspot.com, Seribu batik Indonesia Tanpa nama, diakses tanggal 26 Februari 2010. pukul 23.28 WITA.
[12] http://batikpesisiran.blogspot.com, Desa-desa Batik di Jawa Timur, diakses tanggal 23 Februari 2010,  pukul 12.41 WITA.
[13] Adrian sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Jakarta: Sinar Grafika. , hal. 151
[14] Berdasarkan Pasal 1 angka 2 dan 3 UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah , Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Sedangkan Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
[15] Afrillyanna Purba, Gazalba Saleh, Andriana Krisnawati, 2005, Trips-WTO & Hukum HKI Indonesia (Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia), Jakarta: PT RINEKA CIPTA., hal. 65-67
[16] http://www.sumintar.com/umkm-center-sebagai-inkubator-bisnis.html, UMKM Center Sebagai Indokator Bisnis, diakses tanggal 28 Februari  2010,  pukul  22.15 WITA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar